Jadilah pesejarah bagi sejarah ko sendiri

Kamis, 28 Oktober 2010

SUP: “Usut Tuntas Kasus Video Penyiksaan Masyarakat Puncak Jaya, Papua Lewat Pengadilan Sipil”

"Mampukah Pemerintah Indonesia bertindak adil bagi pelaku kekerasan di Puncak Jaya"

Jakarta, Rabu, 27 Oktober 2010, sekitar tiga puluhan mahasiswa asal Papua dan Indonesia yang dipimpin oleh Victor Kogoya, kembali melakukan demonstrasi di Bundaran HI Jakarta Pusat. Kelompok ini menggunakan nama Solidaritas Untuk Papua (SUP) dengan membawa spanduk merah bertuliskan “ Usut Tuntas Kasus Video Penyiksaan Masyarakat Puncak Jaya-Papua Lewat Pengadilan Sipil ”. SUP terdiri dari Aliansi Mahasiswa Papua, KPRM-PRD, Pembebasan, Perempuan Mahardika, SMI, GP3-PB, AMPTPI, KPOP, dan PPI

Siang itu, pukul 12:06, perwakilan masing-masing organisasi diberikan kesempatan untuk berorasi politik serta diselingi dengan yel-yel “tarik militer dari Papua sekarang juga”, “SBY-Budiono rezim anti rakyat” dan lagu “Hai Tanahku Papua”. Ika dari Pembebasan, Heni dari Gerakan Perjuangan Pembebasan Perempuan Papua Barat, Rinto Kogoya dari Aliansi Mahasiswa Papua, Dian Novita dari Perempuan Mahardika, dan Zely Ariane dari KPRM-PRD.

Dalam perss release SUP menegaskan, bahwa video penyiksaan dua lelaki Papua oleh beberapa tentara Indonesia menciptakan tanda tanya siapa dua orang tersebut dan mengapa mereka ditangkap lalu disiksa? Dari analisis data elektronik menunjukkan video tersebut direkam pada Minggu, 30 Mei 2010. Tepatnya, rekaman mulai pukul 13.26 selama 10 menit dengan kamera mobile phone 3G.

Berdasarkan database korban pelanggaran HAM di Puncak Jaya, rekaman Piron Moribnak dari Puncak Jaya (Juli 2010), data Dewan Adat Papua maupun Solidaritas Untuk Papua, tercatat dua lelaki tersebut adalah Tunaliwor Kiwo dan Telangga Gire.

Dalam orasi politiknya, Rinto Kogoya dari Aliansi Mahasiswa Papua mengatakan bahwa kedua korban penyiksaan ini adalah warga sipil biasa yang berprofesi sebagai petani tradisional. Dia juga mengatakan bahwa pemerintah Indonesia harus bertanggung jawab atas perlakuan aparatnya dan menindak pelaku kekerasan lewat pengadilan Sipil. Menurut Rinto Kogoya, masalah kekerasan yang dilakukan oleh aparat keamanan Indonesia bukan hanya kasus Video Puncak Jaya yang sedang beredar diinternet. Satu lagi yang harus dipertanggung jawabkan adalah video kasus penyiksaan TNI (Brimob) terhadap Yawan Wayeni. Video Wayeni beredar pada Agustus 2009 dengan durasi 7 menit 28 detik.

Mengingat kebiasaan kebal hukum dikalangan militer Indonesia, SUP juga menyerukan kepada pemerintah Amerika Serikat, Australia, Inggris, dan Rusia segera hentikan kerjasama dibidang militer dengan Indonesia.

Pada 28 Juni 2010, Puncak Jaya ditetapkan sebagai Daerah Opersi Militer (DOM) dengan nama operasi gabungan “Bumi Hangus”. Operasi gabungan tersebut terdiri dari Brigade Mobil (Brimob) dari Kelapa 2, Detasemen Khusus Antiteror 88, dan Batalyon 753.

Respon atas penetapan status DOM Puncak Jaya, Solidaritas Untuk Papua menggelar aksi damai dari Bundaran HI-Istana Negara pada 28 Juni 2010. Mereka menununtut pembatalan penetapan Tingginambur Puncak Jaya sebagai Daerah Opersi Militer (DOM) dan menuntut penangkapan dan peradilan bagi aparat militer yang melakukan pembunuhan terhadap Kindeman Gire. Ia seorang anggota Majelis Gereja setempat. Gire ditemukan oleh keluarganya di Gurage (nama sebuah sungai).

Sampai video penyiksaan Kiwo dan Gire beredar, para pelaku dari aparat militer kasus Wayeni, Serui dan kasus Puncak Jaya belum ada yang ditangkap dan disidang.

Penyiksaan Yawan Wayeni berujung pada kematian

Kasus Yawan Wayeni terjadi di Serui, Papua, pada 2009.Video Wayeni beredar sejak Agustus 2009. Dia seorang anggota Tim 100, dimana tim ini pernah ke Jakarta tahun 1999 untuk bertemu B.J. Habibie, mantan Presiden Republik Indonesia. Tim 100 meminta Habibie melakukan Referendum di Papua. Alhasil, sampai tahun 2010, hal ini tidak pernah terjadi melainkan anggota mereka, Yawan Wayeni yang harus menerima penyiksaan sampai berujung pada kematiannya yang tragis.

Wayeni ditembak pada bagian perut dan menyebabkan sobekan panjang sehingga seluruh isi perut Wayeni keluar. Tidak ada pertolongan. Keluarga korban yang mau memberikan minum pada detik-detik terakhir kematiannya pun tidak dibolehkan oleh aparat yang saat itu telah melumpuhkan dia dengan tembakan.
-------------------------------------------
Dalam perss release, Solidaritas Untuk Papua menyerukan kepada pemerintah Indonesia segera: (1) usus tuntas kasus penyiksaan terhadap Yawan Wayeni, Tunaliwor Kiwo, dan Telangga Gire; (2) Adili dan penjarakan pelaku penyiksaan terhadap Yawan Wayeni, Tunaliwor Kiwo, dan Telangga Gire; (3) Copot Pangdam XVII Cenderawasih Papua Hotma MArbun dan Kapolda Papua Irjen Pol Bekto Suprapto; (4) Tarik militer organik dan non-organik dari Puncak Jaya dan seluruh Papua; (5)Berikan kebebasan bagi Rakyat Papua untuk menentukan nasibnya sendiri; (6)Bangun Persatuan Demokratik untuk rakyat Papua.

Video kasus penyiksaan Puncak Jaya sudah beredar hampir satu bulan dan sampai hari ini belum ada hasil dari tim investigasi pemerintah Indonesia maupun Komnas HAM terkait kasus tersebut. Harapan besar bagi pecinta kebenaran dan keadilan bahwasanya pelaku kekerasan mendapatkan perlakuan yang sesuai hukum yaitu melalui Pengadilan Sipil. *

Tidak ada komentar:

Posting Komentar