Jadilah pesejarah bagi sejarah ko sendiri

Minggu, 20 Maret 2011

 Mama Papua, kalian sa pu inspirasi. Kalian perempuan Papua yang kuat dan tangguh. Apapun tentang diri mama, siap kau korbankan demi sebuah keluarga. Mama...trima kasih sudah jaga torang pu tanah air, Papua.


Jakarta - Buku catatan bergaris itu sa buka lagi setelah setahun tertutup. Warnanya masih tetap sama seperti dulu, putih. Namun, sedikit terasa kasar ditangan saat sa pegang dan buka. "Ahsim... ashim... ." Sa langsung bersin-bersin. Barangkali karena debu yang tra kelihatan itu beterbangan, masuk ke sa pu hidung.

Isi buku catatan itu masih utuh. Tulisan seperti cakar ayam. Itu sebutan yang biasa sa dengar saat masih duduk dibangku sekolah dasar dua puluh tahun lalu. Sa buka perlembar. Sabaca dan mengingat kembali saat peristiwa itu terjadi, peristiwa catat-mencatat. Waktunya setahun lalu, 2010. 

Dalam lembaran bagian belakang, ada satu kalimat yang manarik sa pu minat untuk membaca buku catatan itu. De pu judul "Mama-mama pasar." Sehabis baca bait pertama,

"Rasa sakit di dalam hati bila ko tra peduli torang," 

Sa langsung ingat sosok mama-mama Papua yang berjualan noken (berfungsi sebagai tas) di atas trotoar, seberang gedung Bank Papua, Jayapura. Mereka menyulam benang menjadi noken-noken yang cantik. Ada yang bertuliskan Papua, West Papua, gambar bendera Papua Bintang Kejora, dan ada juga yang polos hitam, kuning, putih.

Gambar noken berbahan serat kayu
Noken yang paling menyita perhatian adalah noken dengan bahan serat kulit kayu. Warna dia krem dan ada juga yang coklat. Ukuran pun bermacam-macam, mulai dari ukuran handphone BB hingga untuk sebuah dompet ukuran 20x10 cm. Ada juga yang bisa diisi buku catatan. Harga noken berbeda-beda menurut ukuran, warna, dan bahan. Noken dengan bahan serat kayu relatif lebih mahal. Noken ukuran kecil untuk dompet dan handphone seharga Rp 50.000,00. Semakin besar ukuran maka harga pun semakin mahal. Ini sangat wajar karena tumbuhan yang digunakan semakin sulit ditemukan. Proses pembuatan menjadi serat kering dan siap pakai juga rumit. Tumbuhan ini hanya bisa tumbuh didaerah dataran tinggi. Proses pembuatan, terlebih dulu batang tumbuhan itu dipukul hingga remuk dan dijemur beberapa hari. Setelah kering, serat kayu dilepaskan dari tulang batang tumbuhan tersebut. Serat-serat itu kemudian dipilah hingga seukuran benang lalu digulung rapi.

Dengan menggunakan noken ini, kekhasan orang asli Papua lahir dengan sendirinya. Sa senang sekali ketika melihat orang memakai tas noken.

Mama Papua lain berjualan di depan toko Gelael. Di sini, dorang jual sayur daun kasbi, kangkung, labu siam yang su parut, tauge (kacang tumbuk). Ada juga mama Papua yang jual hipere (Ubi), kasbi, keladi tinta (keladi dengan paduan warna putih dan ungu). Dibagian lain, ada yang jual pinang. Tujuh - sepuluh buah pinang plus tiga buah sirih dihargai Rp 5.000,00. Kalau ada yang mau bungkus, dong su siapkan kapur dikertas dan dilipat berbentuk segi tiga. Tapi, yang sa lihat, kebanyakan pembeli pinang tu su punya kapur yang dong simpan di dalam kaleng berukuran kecil.

Di seantero Papua, semua orang makan pinang. Mulai anak kecil usia sekolah dasar hingga orang lanjut usia. Di mana-mana orang pergi pasti menemukan pinang. Ada juga yang jualan dipinggir jalan, depan rumah, bahkan dihalaman rumah penduduk tidak sedikit yang menanam pohon pinang.

Satu malam diakhir bulan Desember 2010, sa antar mama de ke toko Gelael untuk membeli susu. Kira-kira jam delapan malam lebih. Mama-mama ini masih duduk berjualan. Diantara mereka ada yang hanya pake kain sarung untuk membungkus dong pu badan, tangkis angin malam yang dingin. Ada yang pakai baju hangat dengan sulaman tangan. Ada juga yang terlihat hanya menggunakan baju kaos yang melekat ditubuh nya. Di depan dorang pu jualan, hanya ada pelita yang dibuat dari botol seukuran botol selai kacang 400 gram.

Dibagian lain, ada meja berukuran kecil yang dibalik. Pemiliknya telah pulang atau mungkin tidak berjualan hari itu. Semoga bukan karena sakit. Semoga besok lagi, dia bisa berjualan. Semoga.

Pengamatan sa terhadap mama dorang terhenti dengan sebuah suara "ayo say, tong pulang," ajakan mama de sambil berjalan ke tempat parkiran.

Freddy Sidik, seorang seniman dan pencipta lagu asal Papua. Lagu 'mama - mama pasar' mengandung arti yang sangat dalam. Kalimatnya begitu sederhana namun mampu menggambarkan perasaan mama - mama pasar.



"Mama-mama pasar"

Demo mama-mama pedagang Papua


Rasa sakit di dalam hati bila ko tra peduli torang
Kami ini mama mu, anak
Mengapa kau begitu

Kami mama-mama pasar
Kami bukan peminta-minta
Ini hasil keringat kami, bukan seperti dorang

Pesan sudah mama kasi tau
Berjualan dipinggir jalan
Pesan sudah mama cerita
Menahan panas dan dingin.


Kamis, 17 Maret 2011

Film Lost In Papua


 Film Lost In Papua: Berpotensi menebalkan rasa tidak percaya masyarakat Papua terhadap pembuat film 
asal Indonesia
   
Cover film Lost In Papua. 
 @http://www.kaskus.us
JOGJAKARTA -- Lost In Papua sebuah film baru karya Irham Acho Bachtiar bercerita tentang sebuah suku di Papua. Aktor Fauzi Baadilah berperan sebagai David. Dia diculik dan ditahan oleh “suku Korowai” dan diperkosa oleh 16 perempuan Korowai. Suku ini digambarkan sebagai “suku terasing” di hutan terlarang, semuanya perempuan, sehingga David dijadikan sapi pejantan.

Aktris Jakarta adalah Fanny Febriani. Dia berperan sebagai Nadia yang terpaksa menerima tugas dari atasan ke Papua dan mengantarkan titipan untuk sebuah suku di pedalaman Papua. Lost In Papua didukung oleh figuran orang asli Papua.

Sebagian besar isi cerita lebih kepada petualangan dan komedi. Sekilas setelah mendengar judul film ini, saya langsung menebak bahwa film ini akan bercerita tentang orang yang tersesat di Papua. Barangkali di tengah hutan rimba Papua. Terlintas dalam pikir tentang keindahan alam Papua. Dan ada juga alam yang telah dirusak oleh orang asing dan meninggalkan masalah bagi orang asli Papua. 

Saking penasaran, saya menonton thriller film, membaca sinopsis serta keributan di Facebook beberapa aktivis Papua Barat. Intinya, film ini, ternyata banyak mengandung cerita yang tidak benar dan saya melihat ada unsur rasisme. 

Rasialisme pertama. Menurut Fauzi Baadilah kepada Okezone, "Ceritanya itu memang mengangkat penduduk Papua dengan dramanya. Mental lawan main gue itu kan orang setempat yang nggak pernah main film. Jadi tugas gue double, pendekatan psikologis mereka, agar mereka lebih santai." Orang Papua dianggap tidak pernah main film sehingga terbelakang. Rasialisme begini biasa dalam media Indonesia.

Sekisme kedua. Fauzi juga menceritakan. "Jadi waktu itu ceritanya gue tersesat di daerah Papua. Tiba-tiba gue ketemu suku yang semuanya cewek. Jadi mereka kalau melihat pria hasratnya langsung deh. Cukup kacau juga deh, 16 orang secara bergantian perkosa gue.” Orang Papua memerlukan sapi pejantan dari Jawa. Perempuan Papua digambarkan sebagai perempuan yang lebih baik bisa berhubungan seks dan mendapat “bibit penerus” dari lelaki Jawa. Suku Korowai digambarkan sebagai suku yang hanya terdiri dari kaum perempuan dan juga pemerkosa laki-laki. Ini merendahkan perempuan. 

Judul sebah blog menyebutkan, “Korowai: Suku Kanibal Terakhir: Hidup diatas rumah pohon selama berabad-abad di hutan Papua, Korowai lebih dikenal sebagai suku pemakan manusia. Jumlah sukunya terus berkurang akibat perang, penyakit, berkurangnya pohon-pohon besar dan program merumahkan yang dilakukan pemerintah.” http://www.kaskus.us/showthread.php?t=3992092

Ini tentu tidak benar. Korowai sebuah kelompok etnik yang dulu hidup di pepohonan di daerah Boven Digul. Mereka tentu saja bukan eksklusif perempuan. Banyak lelaki Korowai. Lelaki Korowai adalah salah satu suku di Papua yang tidak memakai koteka. Kaum lelaki suku ini memasukan alat kelamin mereka ke dalam kantong jakar (scrotum) dan pada ujungnya mereka balut ketat dengan sejenis daun. 

Kaum perempuan hanya memakai rok pendek terbuat dari daun sagu. Sagu adalah makanan utama mereka. Ulat sagu juga menjadi makanan tambahan yang terlebih dulu dibakar. Untuk menghindari binatang buas dan ancaman perang antar suku, mereka membuat rumah di atas pohon bahkan ada rumah yang mencapai tinggi 40 meter.

Melalui film Lost In Papua, saya kuatir akan muncul banyak interpretasi yang salah terhadap orang Papua. Kesalahan interpretasi terhadap suku Korowai.

Soal anggapan lucu dari Irham Acho Bachtiar bahwa ada “mitos” suku perempuan, dia tampaknya perlu bongkar arsip TV One. Tokoh masyarakat Papua, Yorris Raweyai, pernah melakukan ekspedisi Mamberamo bersama TV One pada pertengahan tahun 2010. Raweyai menjelaskan bahwa suku perempuan tidak ada. Dia bilang ada kesalahan interpretasi terhadap salah satu suku di Mamberamo. Ketika itu ada sekelompok orang yang menuju kampung tersebut, dan karena takut para perempuan mengambil peralatan perang dan mengejar kelompok asing tersebut. Para laki-laki sedang pergi ke kebun dan berburu sehingga tidak tampak laki-laki di kampung tersebut. 

Saya kira kejadian ini biasa saja. Di Jawa pun, kalau kaum lelaki pergi, kaum perempuan harus membela diri sendiri bukan? Irham Bachtiar adalah alumnus Institut Kesenian Jakarta, orang Jawa, anak transmigran kelahiran Muting, Merauke. Dia, tentu saja, juga tahu budaya Jawa. 

Ada banyak bahan yang bisa digunakan untuk mengangkat nama Papua. Lewat kebudayaan orang asli Papua, yang kaya akan suku, bahasa dan adat istiadat. Atau belajarlah dari Jared Diamond dalam buku best seller New York Times: Guns, Germs and Steel. Diamond bilang bangsa Papua kurang beruntung karena mereka kalah dengan bibit penyakit serta teknologi logam. Namun orang Papua adalah orang cerdas. Ada pula banyak persoalan yang menimpa alam dan orang asli Papua namun belum banyak yang menyuarakan dan mempublikasikan persoalan yang sedang terjadi. Sayang, mata hati Irham Bachtiar tidak terbuka. Pikiran dia juga tertutup. 

Dia tidak melihat eksploitasi besar-besaran terjadi di Papua, mulai dari Freeport McMoran hingga Lost in Papua. Hutan kami dirampas. Dijadikan lokasi tambang dan tempat transmigrasi. Ada suku-suku yang tergusur di atas tanah mereka sendiri. Keberagaman adat dan budaya orang asli Papua yang disalahinterpretasikan sehingga menimbulkan pandangan-pandangan yang tidak benar terhadap orang asli Papua. 

Pada 1963, ketika Indonesia mengambil alih tanah kami, penduduk Papua ada sekitar satu juta orang dengan sekitar empat persen pendatang. Kini penduduk Papua total 3.9 juta dan pendatang 51 persen. Kami didiskriminasi. Kami dibinasakan di tanah kami sendiri. Kami biasa menerima pendatang. Kami suka dengan banyak pendatang karena mereka perlu tanah. Namun tak semua pendatang berbuat baik. Tampaknya, kebaikan orang Papua menerima orang tua Irham Bachtiar di Merauke dibalas dengan pembuatan film yang keji, kotor dan jahat.